KUJANG

kujang

KUJANG

Banyak sekali perdebatan mengenai kujang, kujang itu senjata atau hanya alat perkakas yang digunakan oleh masyarakat pada jaman dahulu. Mari kita bahas kujang itu seperti apa.

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Tentu saja rakyat biasa tidak memiliki kujang.

Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.

  1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
  2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
  3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
  4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
  5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
  6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
  7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
  8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.

Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.

Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.

Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.

Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.

Bentuk kujang yang unik dan dinamis juga menjadi nilai seni tersendiri. Sehingga banyak juga yang menyimpan kujang sebagai benda seni. Bentuk kujang yang dinamis terwujud dalam bagian-bagiannya, yang terdiri dari:

  1. papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah)
  2. eluk/silih (lekukan pada bagian punggung)
  3. tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut)
  4. mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak)

k2

Gambar bagian-bagian kujang

      Visualisasi estetis kujang ditinjau dari bentuk sangat beragam terdiri dari kujang ciung, jago, kuntul, bangkong, naga, wayang, kudi dan masih ada bentuk yang lainnya. Jenis kujang terdiri dari kujang pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas. Kujang memiliki fungsi untuk simbolisasi keagungan, untuk alat berperang, untuk alat upacara, untuk alat pertanian. Secara historis, kujang dibuat sebagai alat pertanian, namun seiring dengan perkembangan jaman kujang menjadi simbolisasi dalam pranata sosial masyarakat etnis Sunda lama.

  •    Kujang Ciung

Further, Kamagra brand viagra pfizer was formulated after the patent protection is now open for all and now any company can produce the medicine with the other names. order cialis uk Largo Broadening Cream The World’s Driving Male Upgrade Item To keep up an in number penis erection, penis erectile and brokenness issue. Effective viagra prescription has worked wonders for the treatment of ED. 89 percent of men have found that it works for them. It is necessary for an individual to provide complete details of levitra generika 40mg usage and its dosage knowledge.

                                      k3

  • Kujang Jago

jago

  • Kujang Kuntul

kuntul

  • Kujang Bangkong

bangkong

  •   Kujang Naga

naga

  • Kujang Wayang

wayang

  •   Kujang Kudi

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Kujang memiliki struktur sistem sebagai simbol dan kerangka berfikir masyarakat Sunda. Kujang sebagai simbol “tritangtu” masyarakat Sunda, sebagai filosofi dasar cara berfikir masyarakat Sunda lama “kesatuan dualistik”, sebagai simbol kultur masyarakat huma / “pola tiga” dalam sistem budaya primordial Indonesia.

Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kujang juga berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Pantas ageman (agama) Kujang menjadi icon Prabu Siliwangi, sebagai Raja yang tidak terkalahkan.

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406).

Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

images-k10-82x306

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

k11

Gambar Pemda Jawa Barat

      Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Tak bisa terbantah bahwa Kujang dengan makna yang begitu luas dan luhur seperti pembahasan di atas, keberadaannya menjadi alat pemersatu masyarakat Sunda di Jawa Barat. Bahkan Pemerintah Jawa Barat telah menggunakan Kujang sebagai simbol logo pemerintahan yang khas. Demikian juga dengan organisasi Badan Musyawarah Masyarakat Sunda, dan beberapa organisasi kedaerahan di wilayah Jawa Barat. Ciri budaya yang khas ini menjadi alat pemersatu dan identitas budaya nasional untuk mempersatukan dan memaknai perbedaan untuk membangun bangsa dan negara.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada jaman dahulu kujang memang alat untuk membela diri, dan mungkin digunakan untuk berperang. Namun memang karena kemajuan jaman sekarang ini maka kujang lebih identik dengan ciri khas dari Sunda. Sekarang ini yang menjadi prioritas utama adalah menjaga bagaimana agar kujang tetap menjadi ciri Sunda yang tetap memiliki nilai seni tanpa menjadi hal yang menakutkan. Kujang memang alat yang identik dengan Sunda Padjajaran pada masa silam. Bentuk dari kujangnya juga ditentukan bahkan ketika proses pembuatan kujang harus sesuai dengan aturan. Tidak hanya itu cara membawa kujang juga ada aturan yaitu

  • Disoren; yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
  • Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
  • Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
  • Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.

Dewasa ini kujang di gunakan sebagai koleksi, hiasan, simbol simbol organisasi dan pemerintahan Jawa Barat, juga monumen seperti Tugu Kujang di Bogor sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Namun ada apapun dibalik kujang itu sendiri baiknya kita lihat dari nilai budaya dan seninya saja. Seni yang Tuhan berikan kepada umatNya supaya tetap dijaga dan dilestarikan.

 

 

 

 

Sumber :

http://ncep-dismember.blogspot.com/2012/04/palsafah-kujang.html

http://abahambu145.wordpress.com/2011/01/16/kujang/

http://id.wikipedia.org/wiki/Lambang_Jawa_Barat

http://goedangdjadoel.com/2012/02/kujang-kudi/

 

 

 

 

 

 

 

 

 




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *